Minggu, 05 Juli 2009

Tuan Guru dan Dinamika Hukum Islam di Pulau Lombok

Abstrak: Tulisan ini membahas masalah dinamika hukum
Islam yang berkembang di Pulau Lombok dalam pemikiran
para ”tuan guru”. Fokus perbincangannya adalah fenomena
kawin lari yang sudah begitu berakar di masyarakat Sasak dan
isu formalisasi yang terus menggelinding seiring dinamika
sosial-politik tanah air. Formalisasi pernah menjadi wacana
menarik di Lombok sehingga melahirkan Perda Zakat yang
memicu kontroversi dalam perjalanannya. Pembahasan tulisan
ini diawali dengan melihat pola keberagamaan masyarakat Sasak
yang sangat unik dan dilanjutkan dengan penuturan peranan
para tuan guru di pulau Lombok.
Kata kunci: tuan guru, Islam weru telu, kawin lari, formalisasi,
doktrin
Pendahuluan
Daerah Lombok,1 Nusa Tenggara Barat (NTB) bagaikan
“laboratorium sosial” yang banyak menyediakan banyak cerita,
menggugah kesadaran intelektual (intellectual curiosity) banyak
pemerhati, dan tak habis-habis digali dan diarifi. Pembahasannya
dari sudut pandang yang berbeda-beda, mulai dari historisitas,
tradisi maupun institusi sosial politik dan dinamika keagamaan
yang berkembang di daerah yang berjuluk Pulau Seribu Masjid
itu.
Penduduk asli pulau Lombok disebut suku Sasak. Mereka
adalah kelompok etnik mayoritas yang berjumlah tidak kurang
dari 89% dari keseluruhan penduduk Lombok. Sedangkan
kelompok-kelompok etnik lainnya seperti Bali, Jawa, Arab, dan
* Alumni Fak. Syari’ah UIN Sunan Kalijaga, Dosen IAIN Mataram dan
Kandidat Doktor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
1 Pulau Lombok terdiri dari 3 Kabupaten (Lombok Barat, Lombok Tengah,
Lombok Timur) dan 1 Kota yaitu Kota Mataram. Lombok adalah salah satu
pulau di Propinsi NTB di samping Sumbawa (Sumbawa, Sumbawa Besar,
Bima, Kota Bima dan Dompu).
Masnun Tahir: Tuan Guru dan Dinamika Hukum Islam di Pulau Lombok
Jurnal Asy-Syir’ah
Vol. 42 No. I 2008
86
Cina adalah pendatang.2 Orang-orang Sasak menyebar di hampir
seluruh daratan Lombok. Sedangkan para pendatang, biasanya
tinggal di daerah-daerah tertentu. Sebagian besar orang Bali
misalnya tinggal di Lombok Barat dan Lombok Tengah. Orangorang
Sumbawa terutama bermukim di Lombok Timur dan
orang-orang Arab di Ampenan. Lingkungan pemukiman
masyarakat Arab di Ampenan disebut Kampung Arab Ampenan.
Orang-orang Cina yang bekerja sebagai pedagang umumnya
tinggal di pusat-pusat kota seperti Cakranegara, Ampenan dan
Praya. Demikian juga di Lombok terdapat pemukiman orang
Jawa yang disebut Kampong Jawa.
Ajaran agama Islam bagi masyarakat Sasak mendapatkan
tempat sangat tinggi dalam menjalankan kehidupan
keagamaannya sehari-hari sesuai dengan doktrin keagamaan yang
dianut. Kuatnya tradisi keagamaan Islam ini dapat dilihat dengan
jumlah-jumlah tempat ibadah (Masjid) yang sampai pada angka
3151 buah. Untuk itu tidaklah mengherankan bila sekelompok
orang menjuluki kepulauan Lombok dengan Pulau Seribu Masjid.
Begitu juga dengan fenomena selalu bertambahnya kuota jamaah
haji di tiap tahun yang menjadi indikator keseriusan ibadah
masyarakat Sasak.3
Tradisi keagamaan Islam yang terdapat di masyarakat Sasak
sejak awal masuknya, lebih menekankan pada penguatanpenguatan
amalan atau ritual keagamaan yang secara sepintas
sangat mementingkan ekspresi keagamaan yang berbentuk pola
dasar ritualitas, kemudian menjelma menjadi pola yang unik
(particular pattern) dengan mementingkan zhahir nass (zhahir an-nas)
dalam interpretasi ajaran Islam.
Islam merupakan dan menjadi faktor utama dalam
masyarakat Lombok. Hampir 95 % dari penduduk kepulauan itu
adalah orang Sasak dan hampir semuanya adalah muslim.
2 Erni Budiwanti, Islam Sasak; Wetu Telu Versus Waktu Lima (Yogyakarta:
LKiS, 2000), p. 6.
3 Muhammad Noor, Muslihan Habib dan Muhammad Harfin Zuhdi, Visi
Kebangsaan Religius; Refleksi Pemikiran dan Perjuangan Tuan Guru Kyai Haji
Muhammad Zainuddin Abdul Madjid 1904-1997 (Jakarta: Logos Wacana Ilmu,
2004), p. 79.
Masnun Tahir: Tuan Guru dan Dinamika Hukum Islam di Pulau Lombok
Jurnal Asy-Syir’ah
Vol. 42 No. I 2008
87
Seorang etnografis bahkan mengatakan bahwa “menjadi Sasak
berarti menjadi muslim”. Meskipun pernyataan ini tidak
seluruhnya benar (karena pernyataan ini mengabaikan popularitas
Sasak Boda).4 Namun sentimen-sentimen itu dipegangi bersama
oleh sebagian besar penduduk Lombok karena identitas Sasak
begitu erat kaitannya dengan identitas mereka sebagai muslim.
Sebagian besar penduduk pulau Lombok beragama Islam dan
hanya sebagian kecil yang beragama non Islam. Agama Islam
dipeluk oleh sebagian besar etnik Sasak, sedangkan agama non
Islam seperti Hindu, Budha atau Kristen dipeluk oleh sebagian
besar pendatang dari kelompok-kelompok etnik seperti Bali dan
cina.5
Ada tiga faktor utama yang dapat mempercepat proses
penyebaran Islam dan usaha-usaha Islamisasi di Lombok.
Pertama, karena ajaran Islam tersebut menekankan pentingnya
prinsip ketauhidan dalam sistem ketuhanannya. Suatu prinsip
yang secara tegas menekankan ajaran untuk mempercayai Allah
yang Yang Maha Tunggal. Pada gilirannya, ajaran ini memberikan
pegangan yang kuat bagi para pemeluknya untuk membebaskan
diri dari ikatan kekuatan apapun selain Allah. Kedua, karena daya
lentur ajaran Islam, dalam hal sebagai kodifikasi nilai-nilai
universal, maka Islam tidak secara serentak menggantikan
seluruh tata nilai yang telah berkembang di dalam kehidupan
masyarakat sebelum datangnya Islam. Ketiga, Islam dianggap
sebagai suatu institusi yang amat dominan untuk menghadapi
dan melawan kekuasaan apapun yang ada dihadapannya yang
bertentangan dengan kaidah-kaidah ketauhidan yang diyakini.6
4 Boda merupakan kepercayaan asli orang Sasak sebelum kedatangan
pengaruh asing. Orang Sasak pada waktu itu, yang menganut kepercayaan ini,
disebut Sasak Boda. Agama Sasak Boda ini ditandai oleh Animisme dan
Panteisme. Pemujaan dan Penyembahan roh-roh leluhur dan berbagai dewa
lokal lainnya merupakan fokus utama dari praktek keagamaan Sasak Boda.
Lihat Erni Budiwanti,”The Impact of Islam on the Religion of the Sasak in
Bayan, West Lombok” dalam Kultur Volume I, No.2/2001/p. 30.
5 Erni Budiwanti, Islam Sasak..., p. 6.
6 Fathurrahman Zakaria, Mozaik Budaya Orang Mataram, (Mataram: Yayasan
Sumurmas Al-Hamidy, 1998), p. 15.
Masnun Tahir: Tuan Guru dan Dinamika Hukum Islam di Pulau Lombok
Jurnal Asy-Syir’ah
Vol. 42 No. I 2008
88
Bila lombok diidentikkan dengan sebuah pulau dengan
1000 masjid yang mungkin meremehkan keberadaan sejumlah
masjid kecil di Pulau tersebut, namun pesannya adalah jelas.
Lombok sangat terkenal di Indonesia sebagai sebuah tempat di
mana Islam diterima secara serius dan tipe Islam yang
dipraktekkan pada umumnya yang agak kaku dan bentuknya
ortodoks bila dibandingkan dengan di daerah lain di negeri ini.7
Islam sebagaimana ia di praktekkan dan di pahami di Lombok
menampilkan sejumlah variasi yang signifikan. Dalam tradisi
keislaman masyarakat Sasak akan ditemukan dua varian Islam
yaitu “Islam Wetu Telu” dan “Islam Waktu Lima”.8
Wetu Telu adalah orang sasak yang meskipun mengaku
sebagai muslim, masih sangat percaya terhadap ketuhanan
animistik leluhur (ancestral animistic deitis) maupun benda-benda
antropomorfis (anthropomorphised inanimate objects). Dalam hal itu
mereka adalah panteis. Sebaliknya, waktu lima adalah orang
muslim sasak yang mengikuti ajaran syari’ah secara lebih keras
sebagaimana diajarkan oleh al-Qur’an dan Hadis.
Adanya dikotomi pola keberagamaan orang Sasak menjadi
Waktu Lima dan Waktu Telu seperti dikatakan oleh Hasan Muarif
Ambari adalah sangat khas, karena pola seperti ini, khususnya
Waktu Telu hanya ada di Lombok dan tidak pernah ditemukan di
tempat lain di Nusantara.9 Meski demikian, dengan merujuk
kepada dikotomi Geertz terhadap umat Islam Jawa, Erni
Budiwanti mengatakan bahwa Islam Waktu Telu sebenarnya lebih
mirip dengan Islam Abangan yang sering juga disebut sebagai
7 Kebenaran reputasi ini bisa kita uji dengan melihat praktik keagamaan di
Lombok. Menurut pengamatan penulis selama ini ternyata siang-malam penuh
dengan ritual keagamaan (apalagi pada bulan-bulan penting). Siang hari di
setiap sudut desa mesti kita akan menemukan Tuan Guru sedang memberikan
pengajian keagamaan, sedangkan pada malam hari, dari masjid-masjid maupun
Langgar-Langgar terdengar sekelompok orang (jamaah) baca Hizib, Barzanji
maupun amalan-amalan sunnah lainnya.
8 John Ryan Bartholomew, Alif Lam Mim: Kearifan Masyarakat Sasak, terj.
Imron Rosyadi, (Yogyakarta: Tiara wacana, 2001), p. 86.
9 Hasan Muarif Ambari, Menemukan Peradaban: Jejak Arkeologis dan Historis Islam
Indonesia (Jakarta: Logos Wacana Ilmu), p. 267.
Masnun Tahir: Tuan Guru dan Dinamika Hukum Islam di Pulau Lombok
Jurnal Asy-Syir’ah
Vol. 42 No. I 2008
89
umat Islam secara formal, berdasarkan KTP semata atau Islam
statistik. Sedangkan Waktu Lima mirip dengan santri yang taat
menjalankan ibadah mahdah.10 Dengan demikian garis batas
antara kedua varian Islam tersebut sebenarnya sangat tipis,
karena jika terjadi mobilitas sedikit saja, Islam abangan atau Islam
Waktu Telu sudah menjadi Islam santri atau Islam Waktu Lima.
Sepanjang sejarahnya, antara penganut Waktu Lima dan
Waktu Telu selalu terlibat konflik. Konflik ini mulai meruncing
pada masa penjajahan Belanda. Gerakan pembaharuan Islam
Waktu Lima mendapat perlawanan keras dari pribumi Sasak
penganut Waktu Telu. Konflik ini semakin parah karena campur
tangan Belanda. Setelah kemerdekaan RI (1950-1955), sebagian
pengikut Waktu Telu yang berada di bawah naungan PKI dan
sebagian lainnya berada di bawah naungan PIR (Partai Indonesia
Raya) mendapat tekanan hebat dari pengikut Waktu Lima yang
berada di bawah naungan Masyumi. Karena kedua kubu ini selalu
berkonflik, maka setelah peristiwa G30 S PKI, Waktu Telu
dinyatakan dilarang sebagai varian agama Islam oleh pemerintah.
Maka secara hukum, sejak saat itu penganut Waktu Telu telah
habis. Namun di beberapa tempat secara sembunyi-sembunyi
praktik Waktu Telu masih dijalankan. Perkembangan terakhir
menyebutkan bahwa Waktu Telu mengalami reinterpretasi. Waktu
Telu tidak lagi berfungsi sebagai varian agama, namun hanya
sebagai adat semata. Dalam kaitan ini. H. Rumeidi, salah seorang
Kepala Desa di Sembalun Bubung mengatakan, “kalau kita
berbicara Waktu Telu, bukan agamanya yang dimaksud di sini,
tetapi manusianya. Manusianyalah yang Waktu Telu karena
manusia hidup di tiga dunia. Pertama, di alam nur yang dimulai
dari alam roh sampai alam kandungan. Kedua, alam dunia yang
dimulai sejak manusia lahir dari rahim ibu sampai ia dikuburkan.
Ketiga, alam kubur dan alam akhirat”.11
Jika dalam perkembangannya, Waktu Telu mengalami
proses stagnasi, maka sebaliknya, Waktu Lima mengalami
10 Erni Budiwanti, Islam Sasak…, p. 1.
11 Lihat Fawaizul Umam dkk, Membangun Resistensi, Merawat Tradisi (Mataram:
LKIM, 2006).
Masnun Tahir: Tuan Guru dan Dinamika Hukum Islam di Pulau Lombok
Jurnal Asy-Syir’ah
Vol. 42 No. I 2008
90
perkembangan yang sangat pesat. Bahkan tidak berlebihan
dikatakan bahwa hampir semua orang Islam Sasak sekarang ini
adalah pengikut Waktu Lima, sehingga apabila dikatakan “orang
Islam” tidak lain yang dimaksud adalan varian yang terakhir ini.
Sebagai kelompok minoritas Islam Wetu Telu, baik secara
langsung maupun tidak langsung keberadaannya semakin ditekan
oleh tiga lapis “penindasan” sekaligus, yakni arus modernitas,
penetrasi aktif dakwah Islamiyah yang tak kunjung surut, dan
implikasi massif dari kebijakan politik khususnya program
transmigrasi. Mereka yang tersisa kini kian terpencil diri
komunitas besar etnis Sasak dan distigma sebagai segmen
masyarakat yang “ketinggalan zaman” dan secara teologis “sesat”
dan karenanya perlu didakwah. Hal ini melahirkan pertanyaan,
benarkah ajaran mereka secara fiqh dan teologis sesat? Mengapa
selalu termarginalkan nasib keyakinan Islam yang bernuansa lokal
itu? Bukankah ini justru bukti pluralitas keagamaan dalam Islam
sendiri, yang menunjukkan keramahannya terhadap budaya lokal.
Padahal beralihnya Orang Sasak dari Boda (sinkretisme Hindu-
Budha) menjadi Islam, kemudian dari muslim sinkretis dan
nominal –disebut Wetu Telu- menjadi Islam yang sempurna –
Waktu Lima- memperlihatkan dinamisme kultural dalam cara
Islam disebarkan, kemudian diserap, diakomodasi dan
diekspresikan di Indonesia. Dinamisme kultural juga melatari
fakta bahwa aktifitas penyebaran dan penanaman ajaran Islam
merupakan proses panjang dan berkesinambungan dalam
antagonisme dan asimilasi tiada henti. Bukankah dalam wacana
fiqh ada istilah ‘urf, maslahah dan teknik-teknik tambahan lainnya
yang mengapresiasi budaya lokal?
Bagi penulis, kasus Islam Wetu Telu adalah masalah
pergulatan klaim kebenaran yang biasa terjadi sepanjang sejarah
antara kalangan tekstualis, konservatif dan inovatif, arabis dan
kultural, dan antar berbagai varian Islam lain.
Seperti halnya kebanyakan orang Islam di Indonesia, umat
Islam Sasak umumnya mengikuti paham Ahlussunnah wal Jama’ah
yang mengenal Islam dari sudut pandang fiqh, khususnya fiqh
Syafi’iyah ditambah dengan tinjauan tauhid seperti yang terdapat
dalam teologi Asy’ariyah. Mereka ini sering diasosiasikan sebagai
Masnun Tahir: Tuan Guru dan Dinamika Hukum Islam di Pulau Lombok
Jurnal Asy-Syir’ah
Vol. 42 No. I 2008
91
tradisionalis yang bercorak formalis-simbolis dan formal-ritual karena
lebih menekankan ibadah formal atau ritual dalam arti sempit
(ibadah mahdah) sebagai standar utama dalam mengukur kadar
keberagamaan, kesalehan dan bahkan keimanan seseorang. Ini
berlawanan dengan Islam yang bercorak substantif-fungsional yang
melihat Islam secara lebih komprehensif dan tidak terbatas pada
ibadah dalam arti sempit. Asumsi ini diperkuat oleh Muhammad
Husni yang mengatakan bahwa aspek syari’ah (hukum Islam)
yang dihayati dan diamalkan masyarakat Islam Lombok,
tampaknya masih sangat terbatas pada segi-segi ajaran agama
yang bersifat seremonial, sehingga tampaknya mereka
berpandangan bahwa itulah keseluruhan agama. Akibatnya
adalah lahirnya berbagai kepincangan dalam tata pergaulan
masyarakat, baik yang berkaitan dengan hukum Islam maupun
yang berkaitan dengan aspek-aspek ajaran Islam lainnya.12
Identitas sebagai parameter bahwa masyarakat Sasak
menganut mazhab Syafi’i adalah: pertama, di Lombok terdapat
organisasi sosial keagamaan besar yang bernama Nahdlatul
Wathan (NW). Dalam bidang fiqih, NW secara tegas dalam
AD/ART-nya berafiliasi pada mazhab Syafi’i.13 Kedua, organisasi
sosial keagamaan lainnya besar di Lombok adalah Nahdlatul
Ulama (NU). Meskipun berpegang pada empat mazhab (Hanafi,
Maliki, Syafi’i dan Hambali), namun dalam praktiknya lebih
berafiliasi pada mazhab Syafi’i. Ajaran-ajaran fiqh yang
dikembangkan dalam NU bersumber pada mazhab Syafi’i,
sehingga masyarakat NU dibentuk –baik dalam pola pikir
12 Muhammad Husni, "Kajian terhadap Kebudayaan Lombok Dewasa Ini:
Tinjauan dari Perspektif Hukum Islam", makalah diskusi perdana Forum
Studi dan Komunikasi Mahasiswa Lombok (FOSKOMAL), di IAIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta tanggal 5 November 1990, p. 4.
13 NW adalah sebuah organisasi sosial kemasyarakatan yang bergerak dalam
bidang pendidikan, sosial dan dakwah Islamiyah. Organisasi ini didirikan oleh
TGH KH. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid pada hari ahad tanggal 15
Jumadil Akhir 1372 H/1 Maret 1953 M di Pancor Lombok Timur, NTB.
Lihat Abdul Hayyi Nu’man dan Sahafari Asy’ari, Nahdlatul Wathan Organisasi
Pendidikan, Sosial dan Politik (Lombok Timur: Pengurus Daerah NW Lombok
Timur, t.t.), p.84.
Masnun Tahir: Tuan Guru dan Dinamika Hukum Islam di Pulau Lombok
Jurnal Asy-Syir’ah
Vol. 42 No. I 2008
92
maupun perilakunya- menjadi penganut mazhab Syafi’i. Ketiga,
pada umumnya di majlis-majlis taklim atau pesantren-pesantren,
materi-materi fiqh yang diajarkan bersumber pada kitab-kitab
Syafi’i, seperti Fathul Qarib, Fathul Wahhab, Fathul Mu’in,
Perukunan Melayu, Sabilal Muhtadin dan lain sebagainya. Hal itu
mempengaruhi pola pikir dan perilaku masyarakat, baik
masyarakat NU, NW, atau yang lainnya yang mendapatkan ajaran
fqih itu. Dengan sendirinya mereka bermazhab Syafi’i.
Dalam perkembangan terakhir, konstruksi kesadaran
beragama umat Islam di Lombok banyak dipengaruhi oleh
elitnya yaitu tuan guru. Sebagai elit terdidik di masyarakat, tuan
guru memberikan pengetahuan Islam kepada masyarakat, di
samping itu juga diyakini memiliki otoritas yang sangat besar dan
kharismatik. Hal ini, karena tuan guru adalah orang suci yang
dianugerahi “berkah”, tipe otoritas ini berada “di luar” dunia
kehidupan rutin dan profan sehari-hari. Otoritas tuan guru dalam
hubungannya dengan masyarakat telah dibentuk oleh kepedulian
dan orientasinya pada kepentingan-kepentingan umat Islam. Tipe
kharismatik yang melekat pada diri kyai adalah karunia yang
diperoleh dari kekuatan Tuhan.14
Tuan Guru Dan Pergumulan Islam Di Pulau Lombok
Masyarakat Sasak adalah masyarakat religius, yang
kehidupan sehari-harinya dibalut oleh semangat keagamaan.
Horison ini, pada gilirannya mempengaruhi cara pandang
masyarakat terhadap realitas di sekitarnya. Misalnya masyarakat
lebih percaya pada institusi sosial yang berbasiskan keagamaan
seperti ulama daripada selainnya.
Secara teoritis, ketika orang memperbincangkan tentang
ulama (tuan guru, Kiyai Haji, Buya, Tengku), tentu saja
menunjuk kepada seperangkat kemampuan yang dimiliki
seseorang yang menunjukkan tingkat kualifikasi keulamaan yang
disandangnya. Penyebutan seseorang ulama, paling tidak
didasarkan pada beberapa hal; pertama memiliki ilmu pengetahuan
14 Bryan S. Turner, Sosiologi Islam: Suatu Telaah Analisa atas Tesa Sosiologi Weber
(Jakarta: Rajawali, 1984), p. 168-169.
Masnun Tahir: Tuan Guru dan Dinamika Hukum Islam di Pulau Lombok
Jurnal Asy-Syir’ah
Vol. 42 No. I 2008
93
yang memadai, terutama ilmu yang berkaitan dengan agama,
karena mereka adalah pewaris nabi, dan nabi tidak mewariskan
sesuatu kecuali ilmu pengetahuan keagamaan (ulum al-din). Kedua,
memiliki jamaah yang dapat dibimbingnya, karena mereka
diposisikan sebagai perantara (al-wasail) antara umat dengan
Tuhan. Ketiga, memiiki rasa takut yang tinggi kepada Allah
dengan konsekuen. Keempat, tuan guru harus mempunyai
kharisma.
Dalam konteks sosial predikat keulamaan itu tidak sekedar
hanya memiliki kemampuan ilmu-ilmu agama (ulumuddin), tetapi
juga telah mendapat legitimasi sosial. Tetapi otoritas dan karisma
ini tidak akan termanifestasi secara riil di dalam masyarakat pada
umumnya jika tidak dibarengi oleh penampakan sifat-sifat pribadi
yang pantas mereka miliki, yang mengandung munculnya
pengakuan masyarakat. Bermodal legitimasi otoritas tradisional
dan modal sosial karismatik ini menempatkan ulama sebagai
referensi dalam kehidupan, baik pada level politik maupun sosial
kemasyarakatan terlebih lagi dalam bidang keagamaan. Pada
hakekatnya mereka diyakini menatap dimensi lain dalam hidup,
yang tak nampak oleh cara pandang biasa.
Di berbagai daerah di Indonesia penggunaan istilah ulama
berbeda dengan kyai. Horikoshi (1976) dan Mansurnoor (1990)
membedakan kyai dengan ulama. Ulama adalah istilah yang lebih
umum dan merujuk pada seorang muslim yang berpengetahuan.
Kaum ulama adalah sekelompok yang secara jelas mempunyai
fungsi dan peran sosial sebagai cendekiawan penjaga tradisi yang
dianggap sebagai dasar identitas primordial individu dan
masyarakat. Dengan kata lain, fungsi ulama yang terpenting
adalah peran ortodoks dan tradisional mereka sebagai penegak
keimanan dengan cara mengajarkan doktrin-doktrin keagamaan
dan memelihara amalan-amalan ortodoks di kalangan umat
Islam.15
15 Hiroko Horikoshi, Kyai dan Perubahan Sosial (Jakarta: P3M, 2001), p. 232.
Menurut Lik Arifin Mansurnoor, fungsi kyai tidak hanya sebagai ahli imu
keagamaan yang sikap dan tindakannya dijadikan rujukan masyarakat,
melainkan juga menjadi pemimpin masyarkat yang seringkali dimintai
Masnun Tahir: Tuan Guru dan Dinamika Hukum Islam di Pulau Lombok
Jurnal Asy-Syir’ah
Vol. 42 No. I 2008
94
Istilah “tuan guru” yang berkembang dan memasyarakat di
kalangan suku Sasak di Pulau Lombok identik dengan sebutan
“Kyai Haji” yang berkembang pada masyarakat Islam, terutama
di pulau Jawa. Ia adalah tokoh agama Islam yang dipandang
sangat menguasai ajaran agama Islam dalam berbagai aspeknya.
Menurut Zamakhsyari Dhofier, ada beberapa defenisi kyai yaitu:
pertama, benda atau hewan yang dikeramatkan, seperti Kyai
Plered (tombak), Kyai Naga Wilaga (gamelan perayaan sekaten di
Yogyakarta, Kyai Rebo dan Kyai Wage (gajah di kebun binatang
Gembira Loka Yogyakarta); kedua, orang tua pada umumnya; dan
ketiga, orang yang memiliki keahlian dalam agama Islam, yang
mengajar santri di pondok Pesantren.16
Tuan guru (ulama) adalah kata gabungan yang terdiri dari
dua suku kata “tuan” dan “guru”. Tuan dalam etimologi Sasak
(suku di pulau Lombok) yang berarti orang yang telah
melaksanakan ibadah haji ke Baitullah (Makkah al-Mukarromah),
dan guru berarti orang yang mengajar. Dalam terminologi Sasak,
Tuan Guru adalah sekelompok orang yang ahli dalam bidang
ilmu keagamaan (Islam) yang mengajar dan membimbing jamaah
atau murid-muridnya dalam suatu lembaga (majelis) formal di
madrasah atau pesantren dan atau lembaga non-formal seperti di
masjid-masjid, surau atau pesantren.
Eksistensi tuan guru sebagai tokoh dan pilar stabilitas
pembangunan di pulau Lombok memainkan peran yang sangat
signifikan. Mereka terkenal karena kontribusi dan keterlibatannya
yang sangat intensif baik dalam pengembangan dakwah maupun
permainan politik kekuasaan (sebelum dan sesudah
kemerdekaan).
Memasuki abad ke-20, jaringan tuan guru di Lombok
makin kokoh dan mendapatkan pengakuan kuat di tengah-tengah
kehidupan masyarakat. Hal itu karena pengabdian dan
pertimbangan dalam menjaga stabilitas keamanan desa. Lihat Lik Arifin
Mansurnoor, Islam in an Indonesia Wotld Ulama of Madura (Yogyakarta: Gajah
Mada University Press, 1990), p. 104-114.
16 Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren Studi Tentang Pandangan Hidup Kiai,
(Jakarta: LP3ES, 1988), p. 32.
Masnun Tahir: Tuan Guru dan Dinamika Hukum Islam di Pulau Lombok
Jurnal Asy-Syir’ah
Vol. 42 No. I 2008
95
perjuangan mereka dalam membumikan Islam di Lombok, baik
lewat jalur tasawuf, dakwah bi lisan (tablig), pengembangan
pesantren maupun pergerakan sosial lainnya.
Adapun tuan guru pada perkembangannya, mendapatkan
posisi penting pada regulasi spiritual dan adat duniawi. Posisi ini
secara langsung dan tidak langsung didapatkan dari masyarakat
Sasak dengan kualifikasi kemampuan ilmu-ilmu agama dan yang
pasti harus sudah menunaikan ibadah haji.
Para tuan guru menempati posisi kuat dalam masyarakat
Sasak yang berkemampuan dan terlegitimasi untuk memberikan
wejangan, petunjuk dan petuah dalam segala aspek kehidupan
masyarakat, tidak ketinggalan pada ranah kebudayaaan dan
komitmen politik untuk masyarakat.
Sistem sosial baru muncul dengan eksistensi tuan guru
sebagai agen petuah dan penunjuk bagi pola budaya dan tingkah
laku yang harus dilakukan oleh masyarakat Sasak dalam
menjalankan rutinitas kehidupannya. Tokoh-tokoh agama
memberikan pencerahan baru bagi perubahan pemahaman
masyarakat dalam memaknai dan memposisikan adat dalam
prikehidupan mereka. Adat menurut tuan guru dan tokoh agama
merupakan artikulasi interpretasi nilai-nilai agama yang
termaktub dalam sumber ajaran Islam dan ijtihad-ijtihad ulama
fiqh Islam. Interpretasi baru adat ini sedikit tidak menyebabkan
reposisi kompetensi tokoh adat dalam mengatur tata kehidupan
bermasyarakat sehingga ketergantungan kuat terhadap tokoh adat
menjadi berkurang dan memunculkan dialektika yang dinamis
antar individu dan kelompok masyarakat.
Mengingat masyarakat Sasak yang sangat kental dengan
ketaatan terhadap agamanya dan tentu saja loyalitas terhadap
ketokohan tuan guru yang ada, maka fanatisme terhadap sosok
tuan guru tertentu masih sangat banyak temukan. Fanatisme
seperti ini kadang-kadang sampai menyeberangi demarkasi yang
tegas antar pranata sosial yang sudah disepakati. Tidak
mengherankan bila setiap kebijakan pemerintahan desa, harus
atas prakarsa dan persetujuan dari tokoh agama atau tuan guru
setempat
Masnun Tahir: Tuan Guru dan Dinamika Hukum Islam di Pulau Lombok
Jurnal Asy-Syir’ah
Vol. 42 No. I 2008
96
Dalam konteks dinamika sosial masyarakat Sasak, para
tuan guru hadir tidak hanya memainkan peran sebagai “makelar
budaya" (cultural broker), tetapi lebih jauh juga berperan sebagai
kreator aktif bagi perubahan sosial, yakni tuan guru
memperkenalkan anasir sistem luar dan menggerakkan
perubahan dalam masyarakat. Sebagai makelar budaya, berupaya
mengaitkan dunia kecil pesantren atau komunitas atau diri
dengan dunia luar. Mereka mengawasi (juga melangsungkan)
parochialization atas nilai-nilai universal yang merambah dunia
kecil dan melakukan universalisasi atas nilai-nilai lokal ke dunia
luar. Sementara sebagai aktor kreatif dari dinamika sosial, para
tuan guru secara relatif efektif menjadi figur panutan atau patron
masyarakat. Untuk hal terakhir ini, mereka benar-benar tampil
sebagai penentu cetak-biru (blue-print) wacana keagamaan di
Lombok.
Menurut Jhon Ryan Bartholomew, sejumlah ahli etnografi
dan sejarawan yang melakukan penelitian di Lombok lebih dari
tiga puluh tahun yang lalu mencatat kekuasaan tuan guru di
Lombok. Wawancara-wawancara yang dilakukan kepada
pemerintah dan para pengembang swasta tanpa terkecuali
menyatakan bahwa semua proyek pembangunan haruslah
disetujui oleh tuan guru bila ingin segala sesuatunya berjalan
dengan baik. Tuan guru secara tipikal menggunakan simbolsimbol
kekuasaan Sasak sebagai penopang pengikut dan klaim
legitimasinya. 17
Para tuan guru melalui hubungan patron-klien, menikmati
cukup banyak "privilege sosial". Secara umum itu termiliki lantaran
kapasitas intelektual keagamaan atau latar belakang sosialekonomi
politik mereka. Sistem sosial masyarakat Sasak hari ini
telah banyak mengalami pergeseran dan perubahan diferensiasi
fungsional. Peran-peran mediasi sosial tuan guru selama ini mulai
banyak diwakili (diambil-alih!) oleh beragam mediasi institusional
yang marak bermunculan seiring dinamika cepat dunia modern.
Namun tetap saja, dalam derajat tertentu para tuan guru masih
memiliki privilege sosial. Sebab bagaimanapun, hingga saat ini
17 Jhon Ryan Bartholomew, Alif Lam …,p. 104
Masnun Tahir: Tuan Guru dan Dinamika Hukum Islam di Pulau Lombok
Jurnal Asy-Syir’ah
Vol. 42 No. I 2008
97
secara de vacto masyarakat Sasak masih menaruh kepercayaan
besar pada mereka. Dengan "hak-hak istimewa" selaku elite
agama itu, mereka bahkan masih dapat mengambil peran sebagai
"pressure group” dan "rulling class" pada level tertentu dalam
keseluruhan struktur sosial masyarakat. Dapat dibayangkan
betapa eksistensi mereka di tengah dinamika sosial masyarakat
sasak.
Isu-Isu Hukum Islam di Pulau Lombok Perspektif Tuan
Guru
Perkawinan Lari dalam Tradisi Sasak
Dalam studi antropologi, ada konsep masyhur yang
diperkenalkan oleh Arnold Van Gennep mengenai ritus-ritus
perayaan tahapan-tahapan kehidupan manusia. Konsep ini
disebut “ritus peralihan” (rite of passage). Saat-saat perpindahan ini
menandai sebuah pemisahan, transisi dan penggabungan
tahapan-tahapan tertentu dalam kehidupan manusia. Perkawinan
merupakan suatu hal yang sangat penting dalam kehidupan
manusia, karena dianggap suatu peralihan dari masa remaja ke
masa dewasa.18 Perkawinan adalah ritus transisi. Ia terjadi pada
seorang lelaki yang mau mengakhiri masa lajangnya pada status
yang ambigu dan memulai sesuatu yang benar-benar baru. Pada
jenis ritus ini, paradoks-paradoks manusia yang tak terpecahkan
kerap dihadirkan untuk memberikan seseorang totalitasnya, yang
pada akhirnya dapat mencapai kesempurnaan. Bagi masyarakat
Sasak, perkawinan adalah bukan hanya peralihan dalam arti
biologis, tetapi lebih penting ditekankan pada arti sosiologis,
yaitu adanya tanggung jawab baru bagi kedua orang yang
mengikat tali perkawinan terhadap masyarakatnya. Oleh karena
itu, perkawinan sebagaimana di masyarakat lain, bagi orang Sasak
dianggap sebagai hal yang suci, sehingga dalam pelaksanaannya
dilaksanakan dengan penuh hikmat, sakral dan pesta yang
18 Lihat Noorhaidi Hasan, “The Basunat Ritual: Islam and Local Culture within
the Circumcision Ceremony among the Muslim Banjarese,” Kultur, The
Indonesian Journal for Muslim Cultures I, 1 (2000): 69-82.
Masnun Tahir: Tuan Guru dan Dinamika Hukum Islam di Pulau Lombok
Jurnal Asy-Syir’ah
Vol. 42 No. I 2008
98
meriah. Salah satu bentuk perkawinan yang berkembang di
masyarakat Sasak adalah kawin lari.
Kawin lari merupakan bagian dari tradisi perkawinan di
Indonesia, tetapi pada umumnya masyarakat menganggap kawin
lari sebagai pelanggaran terhadap hukum adat seperti di Sulawesi
Selatan. Sama dengan di antara kelompok etnik tertentu, seperti
Batak, Lampung, Bali, Bugis, Makasar dan Mandar, kawin lari di
Sasak dianggap sebagi sebuah bentuk protes sosial, yang terjadi
ketika pemuda dan pemudi hendak dinikahkan.19
Kata "kawin lari" (Sasak: "melarikan") dalam gramatika
bahasa Sasak dimaknai dan digunakan sebagai kata dengan
pengertian yang sama dengan perkawinan atau pernikahan. Pada
masyarakat Sasak secara umum menggunakan kata "melarikan"
sebagai identifikasi bagi status perkawinan itu sendiri. Begitu kuat
eksistensi budaya "kawin lari" ini, sehingga sudah menjadi bahasa
baku yang digunakan sehari-hari oleh masyarakat Sasak di
seluruh lapisan sosial. Sampai di sini, terlihat dengan jelas seakanakan
laku budaya kawin lari telah menjadi kearifan lokal bagi
komunitas Sasak.
Konsepsi kawin lari digunakan sebagai kesatuan ritual
budaya perkawinan yang dijalankan oleh masyarakat Sasak.
Dalam varian ritual perkawinan itulah didapatkan adanya konsep
memaling (melarikan gadis) dari pengawasan wali dan lingkungan
sosial di mana si gadis tinggal. Dalam proses diksi (pemilihan
kata) dalam penggunaan kata kawin lari dan memaling tidak jarang
kedua terma ini diasumsikan bermakna sama, akan tetapi secara
umum masyarakat Sasak memilah kedua kata ini dengan
memaknai melarikan sebagai kesatuan ritual perkawinan,
sedangkan memaling merupakan bagian dari ritual perkawinan itu
sendiri.
Kawin Lari dalam pengertian pelarian diri atau mencuri
gadis dari pengawasan wali dan lingkungan sosialnya sudah
19 Jawahir Thontowi, Hukum, Kekerasan & Kearifan Lokal; Penyelesaian sengketa di
Sulawesi Selatan (Yogyakarta: Pustaka Fahima, 2007), p.171. Untuk perkawinan
lari di suku Batak ,baca J.C. Vergouwen, Masyarakat dan Hukum Adat Batak
Toba, (Yogyakarta: LKiS, 2004), p. 198.
Masnun Tahir: Tuan Guru dan Dinamika Hukum Islam di Pulau Lombok
Jurnal Asy-Syir’ah
Vol. 42 No. I 2008
99
terbentuk sebagai warisan budaya turun temurun bagi masyarakat
Sasak secara umum. Sebagian masyarakat meyakini bahwa
dengan melarikan diri atau mencuri si gadis dari pengawasan
walinya, bajang atau pemuda Sasak secara implisit dan eksplisit
memberikan bukti nyata kesungguhannya untuk mempersunting
si gadis. Ada pertanyaan yang tersisa dari respon dan keyakinan
masyarakat Sasak dalam adat perkawinannya ini. Bahwa apa
hanya dengan lari bersama saja atau dengan mencuri si gadis dari
pengawasan walinya saja, sebagai alternatif untuk membuktikan
evidensi kelaki-lakian, keberanian, keseriusan untuk menjalankan
hubungan dan jalinan bahtera rumah tangga nantinya?. Jawaban
bagi pertanyaan ini direspon dengan narasi yang cukup humoris
dan diplomatis bila dipertanyakan kepada orang Sasak atau kaum
tua yang ada di Lombok saat ini. Kebanyakan dari mereka akan
menjawab bahwa ketersinggungan luar biasa bagi mereka bila
seorang lelaki yang ingin mempersunting anaknya dengan
diminta atau dilamar (Sasak: lako’). Mereka menganalogikan
perkawinan dengan melamar atau peminangan dirasakan sebagai
penghinaan karena meminta anak gadisnya sama dengan
meminta anak ayam atau barang saja. Dalam hubungan ini,
Bartholomew menulis sebagai berikut:
”Pelarian diri kadang-kadang dianggap sebagai sebuah intisari praktik
adat Sasak, meskipun sebenarnya praktik ini dipinjam dari orang-orang
Bali. Pelarian diri merupakan praktik yang dihormati di daerah-daerah
tertentu yang menekankan pelarangan meminta kepada seorang secara
langsung atas anak perempuannya untuk dinikahi karena hal ini akan
dianggap sebagai penghinaan terhadapnya, anak wanitanya dan
keluarganya. Seorang laki-laki tua mengatakan kepada saya bahwa
permintaan semacam itu nadanya sama dengan meminta seekor ayam.”20
Walaupun argumen masyarakat Sasak yang meyakini
signifikansi kawin lari terkesan simplistik, namun keyakinan ini
pada laku budaya mereka menjadi sangat populer dan dapat
ditemukan di keseluruhan fragmentasi geografis masyarakat
Sasak, baik pada masyarakat urban Sasak maupun masyarakat
pedesaan.
20 John Ryan Bartholomew, Alif lam Mim .., p. 195.
Masnun Tahir: Tuan Guru dan Dinamika Hukum Islam di Pulau Lombok
Jurnal Asy-Syir’ah
Vol. 42 No. I 2008
100
Fenomena adat perkawinan dengan kawin lari cukup
menarik bila ditarik pada ruang dimensi dan pergulatan tradisi di
dalamnya. Sebagai entitas local indegenious yang berkearifan
tradisional, secara ideal muatan massif yang harus ada penunjang
idealitas sebuah adat adalah insight dari nilai adat istiadat itu
sendiri. Kaitannya dengan budaya kawin lari, sebagian masyarakat
penganut sistem perkawinan ini meyakini dengan menjelaskan
bahwa pada umumnya secara kultural dapat dianggap sebagai
cara yang disetujui laki-laki untuk membuktikan kelaki-lakian
mereka sebagai sebuah respon terhadap dominasi politik dan
ekonomi oleh kekuatan-kekuatan eksternal. Argumen seperti ini
lebih pada pilihan katarsis bagi masyarakat Sasak karena
kungkungan imperialisasi, infiltrasi dan aneksasi dari kekuatan
eksternal.
Budaya kawin lari merupakan salah satu dari entitas kultur
tradisional bagi suku bangsa Sasak dari hasil asimilasi dan
dialektika kebudayaan. Penjelasan yang mungkin diberikan dan
penunjang popularitas tradisi ini adalah berkaitan dengan
kenyataan bahwa raja-raja Bali pasca aneksasi dan orang-orang
lain yang sangat berkuasa sering mengambil perempuanperempuan
Sasak sebagai gundik. Dengan melihat fenomena
waktu itu, antisipasi para keluarga-keluarga Sasak sering
mendorong anak wanitanya untuk lari bersama (melarikan)
dengan laki-laki Sasak yang dicintainya. Secara psikologis gerak
antisipatif masyarakat Sasak waktu itu tidak jauh dari upaya
mempertahankan relasi endogamis ketimbang menjadi alat
pemuas kekuasaan bagi perempuan Sasak waktu itu.
Komentar yang sering diperdengarkan oleh pemangku adat
atau masyarakat Sasak umumnya menyatakan bahwa praktik
budaya kawin lari merupakan hasil dari adopsi masyarakat dari
praktik budaya Bali. Bedanya adalah kemampuan suku bangsa
Sasak untuk membuat inovasi baru bagi budaya kawin lari itu
sendiri menjadi sebentuk identitas baru kebudayaan Sasak
berdasar pada liminasi otopraksi ajaran Islam. Bila pada
masyarakat Bali, pada prosesi melarikan gadis secara otomatis
menjadi akad perkawinan bagi pasangan, sedangkan pada
masyarakat Sasak proses itu hanya menjadi awal rentetan prosesi
Masnun Tahir: Tuan Guru dan Dinamika Hukum Islam di Pulau Lombok
Jurnal Asy-Syir’ah
Vol. 42 No. I 2008
101
dari perkawinan, karena pelaksanaan akad nikah ala Islam
menjadi keharusan untuk dilaksanakan. Senada dengan itu juga,
masyarakat Sasak menjalankan setiap rentetan seremoni
perkawinan dilaksanakan dengan penuh hidmat dalam bingkai
keislaman.21
Popularitas kawin lari dengan pelarian-diri terkesan
menjadi sebentuk simplifikasi pilihan dalam sikap yang
menggunakan legalitas adat sebagai instrumen pencapaian
keinginan. Karena pilihan yang lain seperti perkawinan dengan
meminang atau belako’ terkadang cukup memberatkan dan
membutuhkan modal dan kesiapan psikologis yang harus
ditanggung oleh calon mempelai pria. Kemungkinan lamaran
ditolak dan tidak disetujui oleh wali perempuan, perbedaan status
sosial (kafa’ah), syarat-syarat persetujuan dan lainnya yang harus
dipenuhi oleh pelamar tidak kalah sering terasa memberatkan
pihak laki-laki, maka lari bersama menjadi pilihan tepat bagi satu
pasangan. Di samping mudah dalam penyelesaian masalahmasalah
dalam proses perkawinan, juga mempermudah
persetujuan wali (bila tidak ada ketentuan adat yang mengikat).
Hal ini disebabkan karena dalam adat perkawinan Sasak bila dua
pasangan sudah melarikan diri akan menjadi keharusan bagi
pihak wali perempuan untuk menyetujuinya. Bila tidak maka
akan menjadi aib bagi keluarga yang dikesankan menyalahi adat.
Fenomena merarik diasumsikan sebagai puncak etis wujud
kearifan lokal (local wisdom) bagi masyarakat Sasak secara ekslusif.
Muatan immanen dari sisi ini adalah keterlibatan keyakinan akan
kebenarannya. Namun di samping kesan-kesan positif di
dalamnya tidak jarang praktek perkawinan lari ini menyisakan
persoalan-persoalan yang mengancam keutuhan keluarga baik
secara sosiologis maupun psikologis. Salah satu persoalan yang
muncul adalah konflik yang terjadi dalam rumah tangga yang
pada akhirnya memunculkan tindakan kekerasan dan perlakuan
yang tidak adil terhadap perempuan di dalam rumah tangga.
21 M. Taisir, Kawin Lari dalam Masyarakat Sasak Perspektif Hukum Islam, Tesis
tidak diterbitkan pada Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, p. 45.
Masnun Tahir: Tuan Guru dan Dinamika Hukum Islam di Pulau Lombok
Jurnal Asy-Syir’ah
Vol. 42 No. I 2008
102
Demikianlah beberapa aspek yang berkaitan dengan adat
kawin lari Sasak (dalam midang, beberayean dan lari untuk kawin).
Gambaran di atas memperlihatkan bahwa meskipun dalam
beberapa hal kawin lari Sasak memperlihatkan adanya kesesuaian
dengan ketentuan syara’, namun dimensi pertentangannya baik
dari sudut normatif ataupun kemaslahatan juga tidak sedikit.
Kenyataan ini barangkali cukup sebagai pertimbangan para tuan
guru untuk menyatakan bahwa praktik kawin lari Sasak tersebut
dari perspektif hukum Islam, lebih cenderung untuk berpotensi
tidak baik dan kurang menguntungkan serta mengandung bahaya
yang dapat mengancam jiwa dan menimbulkan permusuhan baik
antara pelaku pelarian dengan keluarga perempuan ataupun
dengan para beraye. Oleh karena itu keberadaannya juga perlu
dikaji ulang untuk menutup atau sekurang-kurangnya
memperkecil peluang bagi terjadinya berbagai perbuatan yang
dapat mengancam kemaslahatan. Dalam perspektif hukum Islam,
permasalahan hukum seperti ini disebut sadd al-zari'ah. Sadd alzari'ah
dalam tradisi hukum Islam biasa diterjemahkan dengan
meniadakan atau menutup suatu jalan (sarana) yang dapat
membawa kepada perbuatan yang dilarang. Dalam hukum Islam,
sadd al-zari'ah dipandang sebagai salah satu sumber hukum Islam.
Di antara imam mazhab hukum Islam yang biasa menggunakan
sadd al-zari'ah adalah Imam Malik. Oleh karena itu, para
pendukung Imam Maliki secara terus-menerus memperkenalkan
penggunaan sadd al-zari'ah dalam mengambil atau menetapkan
hukum, sampai-sampai ada yang beranggapan bahwa sadd alzari'ah
itu hanya dikembangkan oleh ulama Malikiyah. Padahal,
pada kenyataannya, selain ulama Malikiyah juga banyak yang
menggunakan dasar sadd al-zari'ah.22
Hal ini sejalan dengan beberapa kaidah fiqhiyah, seperti:
a. Kemudaratan harus dihilangkan
22 Para ulama sependapat bahwa sadd al-zari'ah merupakan salah satu sumber
hukum Islam, meskipun kadar pemakaiannya berbeda-beda. Lihat dalam
Muhammad Abu Zahrah, Usul al-Fiqh (ttp.: Dar al-Fikr al-‘Arabi, tt.), p. 217.
Masnun Tahir: Tuan Guru dan Dinamika Hukum Islam di Pulau Lombok
Jurnal Asy-Syir’ah
Vol. 42 No. I 2008
103
الضرر يزال 23
b. Tidak boleh membuat kerusakan pada diri sendiri dan orang
lain.
لاضرر ولا ضرار 24
c. Menolak kerusakan lebih diutamakan daripada menarik
kemaslahatan dan apabila berlawanan antara yang mafsadah
dan maslahah maka yang didahulukan adalam menolak
mafsadahnya.
درأ المفاسد مقدم على جلب المصالح 25
Pertimbangan ini kadang-kadang yang dijadikan argumen
oleh para Tuan Guru di masyarakat Sasak untuk melarang atau
bahkan tidak mempraktekkan kawin lari. Sistem ini pernah
dihapus atau dilarang, seperti yang terjadi di Desa Bengkel.
Pelarangan ini didasari oleh fatwa TGH Saleh Hambali yang
menganggap kawin lari ini sebagai manifestasi Hinduisme (Bali),
serta tidak sesuai dengan ajaran Islam.26
Dalam pengamatan dan perbincangan penulis dengan para
tuan guru (informan) mereka sepakat menganggap merariq (kawin
lari) bukanlah praktek Islam. Sebenarnya, sebagian besar
berpendirian bahwa praktek tersebut secara langsung
bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam. Namun,
pendefenisian pelarian diri sebagai sesuatu yang tak Islami juga
menghadapi kesulitan-kesulitan yang luar biasa ketika
mempertimbangkan skisma keagamaan yang ada di daerah
Lombok. Para tuan guru atau tokoh dari Muhammadiyah begitu
keras menolak merarik. Mereka mengatakan bahwa ajaran-ajaran
asli Islam yang dibawa Nabi Muhammad secara eksplisit
menyatakan bahwa seorang laki-laki harus melakukan
23 Abdurrahman bin Abi Bakr as-Suyuti, al-Asybah wa an-Nazair fi al-Furu’
(Ttp.: Dar al-Fikr, tt.), p. 59.
24 Kaidah ini sebenarnya berasal dari hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad dan
Ibn Majah dari ibn Abbas.
25 Abdurrahman bin Abi Bakr as-Suyuti, al-Asybah., p. 62.
26 Ahmad Abd. Syakur, Islam dan Kebudayaan; Akulturasi Nilai-Nilai Islam dalam
Budaya Sasak, (Yogyakarta: Adab Press, 2006), p. 184.
Masnun Tahir: Tuan Guru dan Dinamika Hukum Islam di Pulau Lombok
Jurnal Asy-Syir’ah
Vol. 42 No. I 2008
104
peminangan (khitbah) secara resmi kepada ayah gadis bila ingin
menikahinya. Menurut mereka, karena alasan ini saja merariq
adalah tidak Islami.
Kemudian, menurut KH. Muhit al-Lefaqi, dengan tidak
meminta izin dan mencuri anak perempuan seseorang, berarti
laki-laki itu jelas-jelas tidak menghargai ayah anak perempuan,
yang bisa menimbulkan kekacauan sosial. Menurut Muhiet,
organisasi Muhammadiyah sangat jelas dalam upaya-upayanya
untuk mengembalikan praktik-praktik yang tidak murni Islam di
Indonesia kepada praktek-praktek yang benar-benar dilakukan
Nabi sendiri. Berkaitan dengan hal ini, Muhiet mengatakan
bahwa Islam adalah sebuah agama yang sangat sederhana dan dia
mencoba memprakarsai kebangkitan Islam untuk
mengembalikan umat Islam kembali kepada sumber-sumber asli
dan membedakannya dengan kebanyakan bid’ah oleh
Muhammadiyah dianggap tidak syah. Dari perspektif ini, pelarian
diri adalah salah satu bid’ah yang tak dapat diterima. 27
Oleh karena itu, sebagai tradisi yang berkembang luas di
tengah-tengah masyarakat Muslim, tradisi merarik perlu dikritisi
agar lebih banyak memberi maslahat ketimbang mudarat. Ini tidak
berarti harus membuang tradisi itu secara keseluruhan. Tetapi
dengan memelihara tradisi yang baik dan mengambil cara lain
yang lebih lebih baik, sesuai dengan kaidah: ”al-mukhafazah ‘ala alqadim
al-salih wa al-akhzu bi al-jadid al-aslah”.
Formalisasi Syari’ah
Telah menjadi keyakinan setiap muslim bahwa Islam selalu
sesuai dengan tuntutan zaman dan tempat (al-Islam salih li kulli
zaman wa makan). Keyakinan ini dilegitimasi oleh pernyataan
Allah sendiri bahwa Islam adalah agama yang lengkap dan
sempurna serta agama terakhir yang direstuinya.28 Allah juga
27 Wawancara dengan Muhit al-Lefaqy (Salah seorang Muballig
Muhammadiyah NTB) di Ampenan, tanggal 5 Mei 2007.
28 QS. al-Maidah (5): 3.
Masnun Tahir: Tuan Guru dan Dinamika Hukum Islam di Pulau Lombok
Jurnal Asy-Syir’ah
Vol. 42 No. I 2008
105
menyatakan bahwa tidak ada satupun yang dialpakan Allah dalam
kitab Islam.29
Syari’at Islam yang terjelma dalam al-Qur’an terdiri dari:
pertama, aturan-aturan peribadatan, yakni aturan-aturan yang
berkaitan dengan hubungan antara manusia dan Allah. Aturan
peribadatan merupakan aturan baku, konstan dan tidak
terpengaruh serta tidak terikat dengan situasi dan kondisi. Sejak
nabi Muhammad sampai kapanpun pada prinsipnya aturan itu
tetap sama dan tidak ada perubahan. Meskpun demikian, dalam
teknik pelaksanaannya (dalam masalah furu’iyyah) tidak bisa
dielakkan terjadinya perbedaan. Hal itu bisa disebabkan karena
dalam al-Qur’an tidak dijelaskan secara rinci teknik
pelaksanaannya atau Nabi Muhammad mempraktikkannya tidak
dengan satu cara.
Kedua, aturan-aturan (hukum) yang berkenaan dengan
hubungan antara sesama manusia (interaksi sosial). Dalam hal ini,
aturan-aturan yang terdapat dalam al-Qur’an ternyata sangat
terbatas dan global. Aturan yang ada hanya memuat persoalanpersoalan
yang muncul ketika al-Qur’an diturunkan. Nabi
Muhammad sendiri menjelaskan al-Qur’an dan menetapkan
hukum-hukum sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat
Arab pada masa itu. Setelah Nabi Muhammad wafat,
perkembangan dan perubahan sosial terus melaju dan masalahmasalah
sosial bermunculan serta menuntut untuk diselesaikan,
padahal tidak ada tek-teks (al-Qur’an dan hadis) yang secara tegas
menjelaskan persoalan-persoalan dimaksud.
Dengan pesatnya perkembangan dan perubahan sosial,
masalah keluarga dan perikatan (perdata), serta jinayah (pidana)
begitu kompleks sehingga syari’at Islam (hukum Islam)
mengalami problem karena ketentuan yang ada dalam teks sangat
terbatas dan itupun hanya sesuai dengan kondisi zamannya.
Problem itu semakin pelik tatkala hukum Islam harus
berhadapan dengan hukum Barat yang dibawa Barat yang
berkuasa di dunia Islam. Hukum Islam kehilangan elan vitalnya
menghadapi hukum Barat karena di satu sisi, umat Islam tidak
29 QS. al-An’aam (6): 38.
Masnun Tahir: Tuan Guru dan Dinamika Hukum Islam di Pulau Lombok
Jurnal Asy-Syir’ah
Vol. 42 No. I 2008
106
mampu mengatasi persoalan yang muncul karena tidak ada teksteks
yang mengaturnya, di sisi lain hukum perikatan dan pidana
Islam membutuhkan kekuasaan untuk penerapannya, sedangkan
kekuasaan dipegang non-muslim sehingga yang hidup adalah
hukum Barat. Yang masih bertahan adalah hukum keluarga
karena hukum keluarga bisa berjalan tanpa kekuasaan. Fenomena
itu berimplikasi pada sikap umat Islam. Sebagian umat Islam lalu
berusaha mempertahankan hukum Islam yang ada meskipun
tidak sesuai dengan tuntunan zaman dan sebagian yang lain ingin
melepaskan hukum Islam dan mengadopsi hukum Barat serta
sebagian yang lain lagi menyadari kelemahannya dan berupaya
membenahi diri dan tidak mau mengekor Barat.
Fenomena di atas (politik dan hukum Islam) pada
umumnya dialami oleh umat Islam di dunia, tak terkecuali di
Indonesia. Sikap umat Islam terhadap politik dan hukum Islam
di Indonesia beragam. Ada sebagian umat Islam yang mengakui
bahwa kendati Indonesia bukan negara Islam dan syari’at Islam
tidak diberlakukan secara formal (hukum positif),
penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia masih sesuai dengan
spirit Islam. Sementara sebagian lain berupaya mendirikan negara
Islam dan syari’at Islam dengan cara ‘menentang” pemerintah
Indonesia. Mereka mengaktifkan institusi jihad (menurut
pemahaman mereka) untuk merebut kekuasaan meskipun hanya
wilayah kecil, seperti Aceh.
Syari’at Islam yang ingin ditegakkan tentunya adalah syariat
Islam menurut pemahaman dan keyakinan mereka; bisa jadi
syari’at yang dimaksudkan adalah syari’at hasil pemahaman ulama
klasik. Dalam frame gerakan senada sebagiannya lagi tetap
mengidealkan negara Islam dan penerapan syari’at Islam di
Indonesia, tetapi mereka tidak menggerakkan “jihad fisik”.
Pada gilirannya, tak pelak, tren hangat yang tengah
berkembang di Indonesia saat ini adalah tarik-ulur formalisasi
syari’at Islam di satu sisi dan deformalisasi (substantiasi) atasnya
di sisi lain. Sebenarnya kecenderungan formalisasi itu bukan
tanpa alasan. Di samping alasan ideologis, yakni keyakinan bahwa
syari’at Islam adalah satu-satunya syari’at yang benar yang berasal
dari Allah dan umat Islam wajib menegakkan syari’at Islam,
Masnun Tahir: Tuan Guru dan Dinamika Hukum Islam di Pulau Lombok
Jurnal Asy-Syir’ah
Vol. 42 No. I 2008
107
alasan rasional (bisa jadi ideologis juga) yang dimunculkan adalah
bahwa krisis multidimensi yang terjadi di Indonesia dikarenakan
lemahnya penegakan supremasi hukum dan perilaku masyarakat
yang tidak dijiwai oleh agama. Upaya-upaya yang ada selama ini
tidak membawa hasil. Jalan yang bisa mengatasi problem itu
adalah formalisasi syari’ah. Namun, timbul pertanyaan mendasar:
syari’ah yang mana yang hendak diterapkan. Kalau yang mau
dinegarakan adalah hasil pemahaman ulama klasik (Arab),
formalisasi syari’ah tidak lain adalah arabisasi yang mempunyai
kultur, kondisi, dan situasi berbeda dengan Arab. Kalaupun
syari’at Islam yang akan diterapkan berdasarkan pertimbangan
kondisi Indonesia, maka tidak menutup kemungkinan yang
terjadi adalah politisasi agama, kepentingan-kepentingan yang
dibungkus dengan kemasan agama.
Tuntutan formalisasi syari’at Islam di Indonesia memang
cukup beralasan. Menurut Mahfud, setidaknya ada dua alasan
mengapa ikhtiar mencari peluang aktualisasi hukum Islam di
Indonesia selalu timbul, pertama, secara nyata pemeluk Islam
merupakan mayoritas dengan segala variannya (87%) yang
tentunya memiliki ide dan kesadaran hukum yang khas; kedua,
dalam realitasnya upaya memperjuangkan berlakunya hukum
Islam bagi umat Islam sering timbul meskipun tidak semua tokoh
atau gerakan Islam selalu menyetujuinya, karena setiap komunitas
(yang pro/kontra) memiliki referensi nilai dan preferensi
kepentingan yang tidak seragam alias berpelangi, dan
ketidakseragaman itu pada gilirannya membawa konsekuensi
perbedaan dalam mensikapi ide tersebut.30
Alasan lain menurut penulis adalah bahwa karena hukum
Islam di Indonesia mempunyai potensi historisitas yang sangat
kuat. Sejak zaman kolonial sampai postcolonial, berlakunya hukum
Islam sudah mendapat pengakuan, bahkan dalam bentuk legislasi
dan konstitusi, walaupun hal itu dalam segmen-segmen tertentu.
Di Era pasca kemerdekaan, secara konstitusional hukum Islam
berkembang dalam dua tahap; yaitu tahapan hukum Islam
30 Moh. Mahfud MD, Draft Kuliah Hukum Islam Dalam Sistem Hukum
Nasional, PPs IAIN Sunan Kalijaga, p. 1.
Masnun Tahir: Tuan Guru dan Dinamika Hukum Islam di Pulau Lombok
Jurnal Asy-Syir’ah
Vol. 42 No. I 2008
108
sebagai “persuasive source” (sumber persuasif) dan tahapan
selanjutnya sebagai “autoritative source” (sumber otoritatif).
Maraknya berbagai tuntutan pemberlakuan syariat Islam ini
paling tidak didorong oleh beberapa faktor.31 Suasana
keterbukaan, liberalisasi dan krisis politik dalam era reformasi,
serta pemberlakuan UU No. 22 Tahun 1999 tentang Otonomi
Daerah, merupakan sebagian besar faktor yang telah memberi
peluang kepada tuntutan-tuntutan tersebut. Pemberlakuan UU
No. 44 Tahun 1999 dan UU No.18 Tahun 2001 yang
memberikan keistimewaan dan otonomi kepada Aceh untuk
antara lain menerapkan syariat Islam, serta serangkaian langkah
amandemen UUD 1945, juga telah membuka kemungkinan
memasukkan agenda pencantuman syariat Islam ke dalamnya.
Wacana dan gerakan formalisasi syari’at Islam sebagaimana
penjelasan di atas berkembang di mana-mana pasca reformasi
yang memberikan ruang keterbukaan dan kebebasan. Di Lombok
juga ramai diperbincangkan formalisasi syari’at Islam. Berbagai
forum diadakan untuk berwacana tentang formalisasi syari’at
Islam.
Maraknya wacana penerapan hukum Islam di pulau
Lombok adalah suatu yang sangat wajar karena nuansa dan
gaerah beragama cukup tinggi dan semangat sebagaimana
penjelasan di awal tulisan ini. Namun para tuan guru berbeda
pendapat dalam melihat permasalahan ini sebagaimana
perbedaan yang terdapat di kalangan intelektual negeri ini.
Seorang informan, yaitu T.G.H. Anwar Maarif, secara
tegas mendukung ide formalisasi syari’at dengan alasan mayoritas
masyarakat beragama Islam. Sebagai tokoh PPP ia mengaku,
selama ini partainya telah berjuang keras baik di tingkat pusat
maupun daerah untuk mendengungkan syari’at Islam, misalnya
lewat usul pencantuman kembali ruh Piagam Jakarta dalam
UUD. Dengan bersemangat ia menyatakan bahwa sebenarnya
peluang untuk memformalisasikan syari’at Islam tetap terbuka,
dan hal itu terus akan diperjuangkan. Hanya saja khususnya di
31 Taufik Adnan Amal dan Syamsu Rizal Panggabean, Politik Syariat Islam, dari
Indonesia Hingga Nigeria, (Jakarta: Pustaka Alvabet, 2004), p. 59.
Masnun Tahir: Tuan Guru dan Dinamika Hukum Islam di Pulau Lombok
Jurnal Asy-Syir’ah
Vol. 42 No. I 2008
109
Lombok hal dimaksud belum sepenuhnya dapat dilaksanakan.
Menurutnya, diperlukan terlebih dahulu upaya sosialisasi
terutama berkaitan dengan hukum perdata dan pidana.32
T.G.H. Zainal Arifin Munir mengemukakan hal senada,
sebagai seorang Muslim darinya mendambakan syari’at Islam itu
bisa diformalisasikan di daerah ini, namun demikian ia tetap
memandang perlu dilakukan terlebih dahulu studi kebutuhan.
Kegegabahan memformalisasikan syari’at Islam di Lombok tanpa
diawali oleh studi yang mendalam mengenainya mengakibatkan
ide itu berhenti di tingkat formal-retoris belaka tanpa dibarangi
dengan kesadaran sosiologis yang membumi. Suksesnya upaya
formalisasi syari’at Islam menghendaki adanya gerakan-gerakan
moral seluruh elemen masyarakat Islam, mulai para cendikiawan
Muslim, tuan guru, para anggota legislatif, jajaran eksekutif,
hingga termasuk partai Islam. Jika elemen-elemen tersebut tidak
bergerak bersama, maka sulit rasanya idealitas hukum Islam
dapat terformalisasi utuh. Jadi harus ada kesamaan moral antara
mereka lebih dahulu, harus dimulai dengan kemauan untuk
sharing, berdiskusi dan harus ada yang mampu menjembatani
antar pandangan demi penyamaan visi dan moral. Dialog yang
dilangsungkan semata untuk mempertanggungjawabkan
pandangan-pandangan berbagai pihak yang terlibat dengan
mengeliminasi kemungkinan justru kontra-produktif–
menghambat cita-cita suci dari penerapan syari’at Islam.33
Sementara T.G.H. Mustamiuddin34 yang juga getol
mendukung formalisasi syariat Islam menyatakan, gagasan
32 T.G.H. Anwar Maarif adalah tokoh PPP tiga zaman, mantan anggota
DPRD NTB, pimpinan Pondok Pesantren Darun Najah Mataram dan Wakil
Syuriah PWNU NTB. Wawancara penulis pada tanggal 15 Nopember di
Mataram.
33 T.G.H. Zainal Arifin Munir adalah selain dosen tetap IAIN Mataram dia
adalah pengasuh Pondok Pesantren Munirul Arifin Praya, menimba ilmu
cukup lama di Makkah sejak pendidikan dasar sampai perguruan tinggi,
sementara S2-nya diselesaikan di Al-Aqidah Jakarta. Terakhir sebagai salah
seorang pengurus PBNW Anjani. Wawancara penulis pada tanggal 20 Agustus
2007 di Praya.
34 T.G.H. Mustamiuddin Ibrahim adalah alumni Fakultas Syari’ah IAIN Sunan
Kalijaga, Wakil Ketua PBNW Anjani dan Wakil Ketua MUI NTB. Dia pernah
Masnun Tahir: Tuan Guru dan Dinamika Hukum Islam di Pulau Lombok
Jurnal Asy-Syir’ah
Vol. 42 No. I 2008
110
tersebut di Lombok akan mudah mendapatkan dukungan, karena
menurutnya masyarakat Muslim di Lombok mengetahui akan
kewajiban menjalankan syari’at Islam terutama bagi mereka yag
memiliki latar pendidikan Islam. Sedikit tantangan mungkin akan
muncul dari mereka yang awam atau mereka yang terpendidikan
tetapi bukan latar belakang pendidikan Islam. Kelompok ini,
lanjutnya, akan beralasan bahwa Indonesia adalah negara
Pancasila, bukan negara agama (Islam). Formalisasi syari’at Islam
sangat penting dan oleh karena penerapan hukum non-Islam
selama tidak menunjukkam adanya kemajuan, tidak mampu
menjamin keamanan dan memberi perlindungn pada masyarakat.
"Akan berbeda jika syari’at Islam dijalankan secara kaffah, insya
Allah masyarakat akan dapat berkembang lebih maju dan lebih
aman. Negara-negara yang meneapkan syaru’at Islam dengan
benar terbukti masyarakatnya hidup maju dan terlindungi (rasa
aman),’’ tuturnya dengan yakin.
Agak berbeda dari para informan di atas adalah Tuan Guru
Saiful Muslim yang lebih memilih bersikap hati-hati mengenai
gagasan formalisasi syari’at Islam ini. Menurutnya, formalisasi
syari’at Islam bukan menjadi masalah apabila pemerintah pusat
sampai daerah memberikan dukungannya. Namun, ia juga
menekankan jangan sampai dengan diberlakukannya syari’at
Islam justru mengganggu kerentraman dan keamanan umat
agama lain. Kendati ia tetap pernaya bahwa umat Islam
khususnya di Lombok memiliki toleransi yang luar biasa, namun
tetap saja harus diperhatikan kekhawatiran sementara pihak
apabila syari’at Islam diberlakukan. Oleh karena itu, menurut
menjadi Hakim PA Ambon tahun 1976-1982, PA Mataram 1982-1985, dosen
IAIN Mataram tahun 1982-2000, Dekan Fakultas Syari’ah IAIH NW 1997-
2000, salah seorang Masyayikh di MQDH NW 1990-sekarang, rektor UNW
Mataram 1985-sekarang. Kesibukan utamanya adalah sebagai hakim tinggi di
PTA Mataram sejak tahun 1985. Wawancara di Mataram tanggal 27
Nopember 2007.
Masnun Tahir: Tuan Guru dan Dinamika Hukum Islam di Pulau Lombok
Jurnal Asy-Syir’ah
Vol. 42 No. I 2008
111
guru besar IAIN Mataram ini, penerapan syari’at Islam secara
formal harus senantiasa disesuaikan dengan situasi dan kondisi. 35
Sementara T.G.H. Ahmad Taqi’uddin secara tegas
menolak formalisasi syari’ah. Dalam pandangan beliau,
formalisasi Syari’ah merupakan fenomena sejarah. Namun hal
itu, bukanlah cara satu-satunya untuk menjelaskan dan
menyelesaikan problem umat. Misalnya, umat mengalami
kemiskinan, bukan lalu syari’ah secara genuine dapat
menyelesaikan, justru yang harus dicari adalah apa penyebab
terjadinya kemiskinan itu. Dalam kerangka inilah, patut
diperhatikan, bahwa dalam penegakan syari’ah Islam alasan
penting dan utama yang harus diperhatikan bagaimana
menciptakan kemaslahatan umum yang tidak saja menyentuh
umat Islam semata, tetapi juga umat secara keseluruhan.
Beliaupun kemudian menyesalkan jargon memperjuangkan
penegakan syari’ah Islam, tetapi seringkali justru dijadikan
sebagai alat justifikasi politik.36
Memahami ragam pernyataan dari para tuan guru yang
diwawancarai ditemukan adanya titik temu, di mana aktualisasi
keberagamaan dalam kehidupan masyarakat Lombok masih lebih
mengutamakan pelaksanaan ubudiyah, seperti salat, puasa, dan
haji. Belum ditemukan implementasi keberagamaan yang utuh.
Pelaksanaan syari’at Islam baru terlihat secara umum, tetapi
belum menyentuh hal-hal yang substantif. Demikian juga
masyarakat awam tidak begitu mempedulikan isu formalisasi
syari’at Islam, karena mereka merasa tidak berkaitan dengan
35 T.G.H. Saiful Muslim adalah Mantan Kakanwil Depag NTB, mantan ketua
STAIN Mataram, Ketua Tanfiziyah PWNU NTB, Ketua Umum MUI NTB
dan Guru Besar IAIN Mataram. Wawancara di Mataram, 16 Agustus 2007.
36 T.G.H. Ahmad Taqi'uddin Mansur adalah pengasuh Pondok Pesantren
Ta'lim al-Shibyan, Bonder, Lombok Tengah. Ketua RMI NTB dan Ketua
Tanfiziyah PWNU NTB. Menjadi anggota DPRD Propinsi Nusa Tenggara
Barat selama 3 periode dari PPP dan PKB (1997-sekarang). Pernah menjadi
dosen di STIS Mataram dan STAIIQH Bagu. Wawancara dengan TGH.
Ahmad Taqi’uddin Mansur,20 Desember 2007 di Bonder dan 2 Januari 2008
di Kekalik Mataram.
Masnun Tahir: Tuan Guru dan Dinamika Hukum Islam di Pulau Lombok
Jurnal Asy-Syir’ah
Vol. 42 No. I 2008
112
kepentingan yang segera dapat mereka nikmati atau
menguntungkannya.
Dalam pandangan penulis, klaim kesempurnaan Islam para
penghayat ”Islam politik” termasuk para tuan guru, umumnya
bersandar pada segudang dalil yang bertumpu lebih pada
normativitas teks (al-Qur’an dan hadis) ketimbang pada
historisitas konteks di mana teks-teks itu lahir dan mengikat diri.
Akibatnya teks-teks dimaksud menjadi tercerabut dari dimensi
ruang dan waktunya. Dalam konteks hermeneutika, pola
pembacaan tekstual-skriptual semacam itu jelas ahistoris.
Sementara kalaupun diajukan konteks historis (misalnya dalam
rangka mencari preseden ”negara Islam” dalam hal ini Madinah
pasca-Hijrah Nabi lazim ditunjuk sebagai prototipe negara ideal),
misalnya terjebak idealisasi berlebihan sehingga kerap fakta-fakta
historis itu diperlakukan sebagai fiksi dan bukan lagi sebagai
realitas.
Penutup
Demikian realitas dan dinamika hukum Islam yang
berkembang di Pulau Lombok, memang cukup banyak isu-isu
hukum yang membutuhkan respon dan jawaban kontekstual dari
para tuan sang penyangga moral masyarakat Sasal. Tetapi lagi-lagi
penafsiran yang digunakan oleh para tuan guru adalah tekstual
literalis (nalar fiqh formalistik-tekstualistik). Oleh karena itu, apa
yang terdapat dalam teks harus difahami sesuai yang ada dalam
teks tersebut secara tersurat, tanpa memahami apa yang tersirat.
Pemahaman tekstualis ini cenderung menolak pemahamanpemahaman
yang bersifat logis dan kontekstual. Mereka menolak
menggunakan pemahaman sejarah, yakni kapan, mengapa, dan
dalam kondisi bagaimana setting kultur serta tradisi yang
berkembang pada masa ayat tersebut diturunkan (asbab al-nuzul).
Kalaupun mereka menerima penjelasan kapan, di mana, dan
peristiwa apa yang melatarbelakanginya turunnya ayat, tetap saja
pemahamannya bersifat teks. Peristiwa yang terjadi ketika ayat
turun dipahami hanya sebagai latar setting yang harus juga
diduplikasi ke dalam kehidupan kapanpun, termasuk di zaman
modern sekarang ini. Ayat tidak boleh ditafsiri secara berlebihan
Masnun Tahir: Tuan Guru dan Dinamika Hukum Islam di Pulau Lombok
Jurnal Asy-Syir’ah
Vol. 42 No. I 2008
113
apalagi jauh dari teks itu sendiri. Tidak ada kritik terhadap
pemahaman-pemahaman sebelumnya yang dihasilkan leh ulama’-
ulama’ ahli tafsir. Yang mereka lakukan hanyalah memahami teks
ayat itu, dan`mengesampingkan pemahaman sebelumnya.
Berdasar hasil analisis atas pemikiran para tuan guru
tersebut ternyata secara hermeneutis memang terdapat
keterkaitan erat antara pemikiran dan latar Weltanschauung mereka.
Secara hermeneutis latar dimaksud menunjuk pada prasangka,
kondisi historis, dan latar tradisi tuan guru. Secara langsung
maupun tidak, anasir hermeneutik itu membangun atau
mewarnai horison tuan guru dalam menderivasi pesan tekstual
ajaran Islam seputar isu-isu hukum Islam di Pulau Lombok. Jadi
para tuan guru itu tidaklah berawal dari kekosongan dalam situasi
vakum budaya. la muncul sebagai refleksi langsung dari gugusan
pengalaman panjang pengetahuan dan kehidupan mereka.
Daftar Pustaka
Abd. Syakur, Ahmad, Islam dan Kebudayaan; Akulturasi Nilai-Nilai
Islam dalam Budaya Sasak, Yogyakarta: Adab Press, 2006.
Ambari, Hasan Muarif, Menemukan Peradaban: Jejak Arkeologis dan
Historis Islam Indonesia, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997.
as-Suyuti, Abdurrahman bin Abi Bakr, al-Asybah wa an-Nazair fi
al-Furu’, ttp.: Dar al-Fikr, tt.
Bartholomew, John Ryan, Alif Lam Mim: Kearifan Masyarakat
Sasak, terj. Imron Rosyadi, Yogyakarta: Tiara wacana,
2001.
Budiwanti, Erni, ”The Impact of Islam on the Religion of the
Sasak in Bayan, West Lombok” dalam Kultur Volume I,
No.2/2001.
Budiwanti, Erni, Islam Sasak; Wetu Telu Versus Waktu Lima,
Yogyakarta: LKiS, 2000.
Dhofier, Zamakhsyari, Studi Tentang Pandangan Hidup Kiai,
Jakarta: LP3ES, 1988.
Masnun Tahir: Tuan Guru dan Dinamika Hukum Islam di Pulau Lombok
Jurnal Asy-Syir’ah
Vol. 42 No. I 2008
114
Hasan, Noorhaidi, “The Basunat Ritual: Islam and Local Culture
within the Circumcision Ceremony among the Muslim
Banjarese,” Kultur, The Indonesian Journal for Muslim Cultures
I, 1, 2000.
Horikoshi, Hiroko, Kiai dan Perubahan Sosial, Jakarta: P3M, 2001.
Husni, Muhammad, "Kajian terhadap Kebudayaan Lombok
Dewasa Ini: Tinjauan dari Perspektif Hukum Islam",
makalah diskusi perdana Forum Studi dan Komunikasi
Mahasiswa Lombok (FOSKOMAL), di IAIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta tanggal 5 November 1990
Mahfud MD, Moh., Draft Kuliah Hukum Islam dalam Sistem
Hukum Nasional, PPs IAIN Sunan Kalijaga.
Mansurnoor, Lik Arifin, Islam in an Indonesia World Ulama of
Madura, Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1990.
Noor, Muhammad, Muslihan Habib dan Muhammad Harfin
Zuhdi, Visi Kebangsaan Religius; Refleksi Pemikiran dan
Perjuangan Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul
Madjid 1904-1997, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2004.
Nu’man, Abdul Hayyi, dan Sahafari Asy’ari, Nahdlatul Wathan
Organisasi Pendidikan, Sosial dan Politik, Lombok Timur:
Pengurus Daerah NW Lombok Timur, t.t.
Soelaiman, M. Munandar, Dinamika Masyarakat Transisi: Mencari
Alternatif Teori Sosiologi dan Arah Perubahan, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1998.
Taisir, M., Kawin Lari dalam Masyarakat Sasak Perspektif Hukum
Islam, Tesis tidak diterbitkan pada Pascasarjana UIN Sunan
Kalijaga, Yogyakarta,
Thontowi, Jawahir, Hukum, Kekerasan & Kearifan Lokal;
Penyelesaian sengketa di Sulawesi Selatan, Yogyakarta: Pustaka
Fahima, 2007.
Turner, Bryan S., Sosiologi Islam: Suatu Telaah Analisa atas Tesa
Sosiologi Weber, Jakarta: Rajawali, 1984.
Masnun Tahir: Tuan Guru dan Dinamika Hukum Islam di Pulau Lombok
Jurnal Asy-Syir’ah
Vol. 42 No. I 2008
115
Umam, Fawaizul, Membangun Resistensi, Merawat Tradisi, Mataram:
LKIM, 2006.
Vergouwen, J.C., Masyarakat dan Hukum Adat Batak Toba,
Yogyakarta: LKiS, 2004.
Zahrah, Muhammad Abu, Usul al-Fiqh, ttp.: Dar al-Fikr al-‘Arabi,
tt.
Zakaria, Fathurrahman, Mozaik Budaya Orang Mataram, Mataram:
Yayasan Sumurmas Al-Hamidy, 1998.